085656465961

Rumah Kepemimpinan Regional VII Makassar

Terus Berkontribusi untuk Bangsa dan Negara Indonesia

Selasa, 28 Februari 2017

Catatan 01 #MengawalUKMKPIUNHAS

UKM KPI Unhas telah memasuki babak baru. Beberapa waktu yang lalu, kami baru saja melaksanakan salah satu program kerja UKM KPI Unhas yakni Pelantikan, Upgrading, dan Rapat Kerja atau yang lebih dikenal dengan istilah PUR UKM KPI Unhas. Kegiatan ini belum benar-benar selesai dikarenakan kurangnya kader dalam agenda rapat kerja yang berakibat dipendingnya agenda hingga beberapa hari berikutnya. Tentu keadaan ini mesti kita perhatikan bersama agar tidak terjadi kembali dalam kegiatan-kegiatan selanjutnya. Meski demikian, apresiasi patut diberikan kepada para kader yang setia membersamai kegiatan dari awal hingga akhir, maupun kader yang hanya membersamai beberapa agenda saja. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap lembaga ini.

UKM KPI Unhas memiliki banyak kader yang berasal dari berbagai fakultas se-Universitas Hasanuddin. Tercatat, sebanyak 163 kader angkatan tujuh yang diterima menjadi bagian dari keluarga besar UKM KPI Unhas. Angkatan-angkatan sebelum dan sesudah pun tidak kalah banyaknya. Meski memiliki banyak kader, kegiatan lembaga masih saja dihadiri sedikit peserta. Pertanyaannya, apa “kemungkinan-kemungkinan” penyebab hal tersebut?. Mari kita telaah bersama.

Pertama, Sense of Belonging. James Gilmore pada tahun 2005 pernah mengatakan bahwa, “A sense of belonging is the feeling of being connected and accepted within one's family and community.”. Pendapat Gilmore tersebut menjelaskan bahwa jika seseorang memiliki sense of belonging pada organisasi ini (yang bahkan dianggap sebagai keluarga oleh sebagian orang) maka kita akan lebih mudah menyatu, lebih mudah berkolaborasi, lebih erat persaudaraan, dan akan lebih banyak inisiatif untuk memajukan lembaga ini. Mungkin saja karena kurangnya sense of belonging sehingga persoalan-persoalan di atas masih saja ditemui di lembaga ini. Ketika kader dihadapkan pada pada pilihan-pilihan tertentu maka pilihan membersamai UKM KPI Unhas menjadi nomor dua. Sense of belonging juga sangat berkaitan dengan bagaimana lembaga membantu mewujudkan tujuan para kader masuk di UKM KPI Unhas. Untuk mengatasi persoalan sense of belonging, harus ada kesadaran dari para kader dalam melihat skala prioritas. Perlu juga adaptasi kader terhadap kegiatan-kegiatan lembaga sambil bersama-sama melakukan perbaikan-perbaikan agar tujuan kader masuk UKM KPI Unhas dapat terwujud.
Kedua, manajemen waktu kegiatan. Memang ada beberapa kegiatan lembaga dilaksanakan pada malam hari ataupun hari-hari padat kegiatan akademik yang berakibat pada banyaknya kader yang tidak bisa menghadiri kegiatan. Hal ini juga perlu diperhatikan bersama, terkhusus pelaksana kegiatan yang mengatur jadwal kegiatan. Kegiatan yang diperuntukkan kepada kader harus disesuaikan dengan keadaan kader dan kader juga harus mampu beradaptasi dengan keadaan lembaga.

Masih banyak kemungkinan lainnya tetapi dua hal di atas menjadi penyebab utama berdasarkan pengamatan pribadi. Sebenarnya, dua hal di atas sudah sangat sering diperbincangkan, baik tataran pengurus maupun tataran anggota. Tetapi, kejadian kemarin masih saja terjadi. Ya, mungkin itulah sifatnya orang Sulawesi. Dalam salah satu materi Upgrading “Arah Gerak dan Leadership”, pemateri memaparkan berdasarkan rujukan yang jelas bahwa orang Sulawesi adalah orang yang lebih menyukai aksi nyata dibandingkan kata-kata. Orang Sulawesi tidak akan mempercayai dan mengerjakan sesuatu walaupun kelihatan baik apabila tidak ada yang memberikan teladan terlebih dahulu. Tetapi sekali mereka percaya maka mereka akan mempertahankan kepercayaan tersebut.

Olehnya itu, saya mengajak kepada para pembaca yang budiman untuk menunjukkan perhatian kepada lembaga. Mari membersamai lembaga dan memberikan teladan kepada kader lainnya. Dave Thomas pernah berkata pemimpin besar masa depan adalah orang yang mempraktikkan apa yang diucapkannya. Mereka memberikan contoh, menciptakan iklim loyalitas dan kerja sama, serta aktif berbagi kesuksesan dengan kader lainnya. Mari menjadikan KPI’ers sebagai keluarga dan Rumah Ilmiah sebagai rumah kita bersama.

Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada kata yang salah karena manusia tentu tak luput dari kesalahan. Jangan lupa, maksimalkan kehadiran pada rapat kerja selanjutnya.


#Keeponfightingtilltheend #KOFTTE
#JayaPenalaran
#JayaUKMKPIUnhas

Rabu, 10 Agustus 2016

SIAPAKAH PEMIMPIN ITU?


Pemimpin tidak lahir begitu saja, tetapi harus dibentuk dan dibina. Ya, kalimat tersebut adalah kalimat bijak yang selalu diperdengarkan di Rumah Kepemimpinan. Memang betul, pemimpin hebat selalu lahir dari proses pembentukan dan pembinaan yang luar biasa. Bahkan, pemimpin sekaliber Soekarno sekalipun menjalani pembinaan di bawah bimbingan HOS Cokroaminoto. Sebagaimana wejangan dari Husein Ibrahim, salah satu pendiri Rumah Kepemimpinan, “melalui pembinaan yang baik, diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin yang mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik di masa yang akan datang”.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah event, bernama National Leadership Camp di Jakarta. Event ini merupakan salah satu agenda pembinaan khusus dari Rumah Kepemimpinan. Pada event National Leadership Camp, banyak pengetahuan, pengalaman, dan motivasi yang didapatkan sebagai langkah awal menuju pembinaan selama 22 bulan mendatang. Banyak pembicara-pembicara hebat yang hadir, diantaranya Anies Baswedan dan Sudirman Said; Ustadz Musholli dan Letjen Purn. Husein Ibrahim (Pendiri Rumah Kepemimpinan); Sandiaga S. Uno, Nur Agis Aulia,  Achmad Zaky (Enterpreneur); Dalu Nuzlul, Gesa Falugon, dan Faldo Maldini (Aktivis); Suyoto (Bupati Bojonegoro); Yoyok (Bupati Batang); Ricky Elson (Pelopor Mobil Listrik Nasional); dan pembicara-pembicara lainnya.

Mungkin ada yang bertanya, apa itu Rumah Kepemimpinan?. Rumah kepemimpinan adalah sebuah komunitas penerima beasiswa PPSDMS; dimana para penerima beasiswa akan diasramakan dan mendapatkan pembinaan baik harian, pekanan, bulanan, tahunan, maupun pembinaan khusus selama 22 bulan. Rumah Kepemimpinan tersebar di tujuh regional dan Sembilan PTN ; Jakarta (Univ. Indonesia), Bandung (Institut Teknologi Bandung dan Univ. Padjajaran), Yogyakarta (Univ. Gadjah Mada), Bogor (Institut Pertanian Bogor), Surabaya (Univ. Airlangga dan Institut Teknologi Sepuluh November), Medan (Univ. Sumatera Utara), dan Makassar (Universitas Hasanuddin).

Tentu, bukan hal yang mudah menjalani pembinaan selama 22 bulan. Begitu banyak godaan dan tantangan, terutama di waktu subuh :D . Tetapi, mengutip potongan Idealisme Kami -Rumah Kepemimpinan-, “Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini; selain rasa cinta yang mengharu biru hati kami; menguasai perasaan kami; memeras habis air mata kami; dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami.”.  Honda Soichirou, dikutip dari ricky Elson, pernah mengatakan “Kurangi waktu tidurmu dan waktu makanmu. Terus berjuang karena hanya orang yang sampai detik terakhir tidak menyerah yang akan menjadi pemenang”.

Pemimpin yang ingin dilahirkan oleh Rumah Kepemimpinan haruslah pemimpin yang mampu membangun peradaban. Tentu, bukan hal mudah untuk membangun peradaban, tetapi mengutip pernyataan Bang Bachtiar, “Jangan mau menjadi abu, tetapi jadilah api sejarah”. Untuk membangun peradaban, tentu dibutuhkan jiwa kepemimpinan profetik; dimana seorang pemimpin harus memiliki semangat pembebasan dan transedensi (berpikir lebih jauh dari orang lain). Rumah Kepemimpinan mengajarkan nilai-nilai yang disingkat ROOM PK : Rendah Hati, Open Mind, Objektif, Moderat, Prestatif, dan Kontributif. ROOM PK ini-lah yang ditransformasikan dalam berbagai program pembinaan untuk membentuk kader-kader terbaik yang akan menjadi pemimpin hebat di masa depan.

Hal yang harus dipahami terkait pemimpin adalah the leader berbeda dengan penguasa. Penguasa akan mempertanyaan apa dan dimana posisi saya; sementara the leader akan mempertanyakan bagaimana cara saya untuk berkontibusi sebesar-besarnya. Seorang pemimpin yang baik biasanya memenuhi rumus yang diajarkan oleh Sudirman Said (Menteri ESDM 2014-2016) dan Anies Baswedan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2014-2016), yakni Credibility = [Integrity + Competency + Intimacy] – Self Interest. Jika kita mampu memenuhi rumus tersebut maka akan terbentuk jiwa kepemimpinan di dalam diri kita.

Seorang pemimpin juga harus visioner, mengingat ada kalimat bijak yang menyatakan bahwa Jika Anda gagal berencana maka Anda berencana untuk gagal. Hidup adalah perjalanan yang membutuhkan alat navigasi agar dapat sampai dengan selamat. Berpikir-lah ; sebelum berangkat, tiba dulu. Pemimpin hebat harus memiliki mimpi besar; karena pemimpin hebat lahir dari mimpi besar. Hassan Al-Banna pun pernah mengatakan, “Kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin dan mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok”. Lalu, bagaimana cara merealisasikannya?. Ada beberapa tips alur yang diajarkan oleh Sandiaga S. Uno untuk mengubah mimpi menjadi realita, yakni klasifikasi nilai-nilai, pahami kondisi, ciptakan visi-misi, dan cepat lakukan implementasi. Jalan menuju kesuksesan memang bukan jalan mudah melainkan berliku-liku ; sehingga dibutuhkan tekad yang kuat, keberanian, tidak takut gagal, dan terus menjadi pembelajar.

Mari kita merenungkan kembali ajaran dari Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dikutip dari Bang Bachtiar Firdaus, :“Anak-anakku, Peserta Rumah Kepemimpinan, kamu bukanlah pimpinan sewaan, tetapi pemimpin yang berideologi; yang sanggup berjuang menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah bahwa kemerdekaan suatu Negara yang didirikan di atas timbunan tanah keringat pemimpin dan bangsanya tidak dapat dilenyapkan oleh manusia manapun”. 

Indonesia kini sedang hamil tua untuk melahirkan pemimpin besar yang mengubah dunia; dan saya berharap itu adalah kita. Mengutip kata bijak dari Anies Baswedan, “No person can change history single-handedly”. Kita adalah superman-superman yang siap menjadi Superteam; demi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita Indonesia di masa depan. Mari bersatu, berkarya, mengglobal; dan menjadi saudara sampai surga; dengan tujuan tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih. Mengutip Idealisme Kami -Rumah Kepemimpinan- : Yang kami harap adalah,


TERBENTUKNYA INDONESIA YANG LEBIH BAIK DAN BERMARTABAT SERTA KEBAIKAN DARI ALLAH – PENCIPTA ALAM SEMESTA.

#Muhammad Faisal
#Presiden RI
#Rumah Kepemimpinan Reg. VII Makassar

Sabtu, 16 Juli 2016

DIMANAKAH ENGKAU PARA PUTERA PUS?


         

          Sejauh apa pun kaki melangkah, rindu selalu mendekatkan anak perantauan dengan kampung halaman. Ya, sebuah kalimat bijak tentang kerinduan kepada kampung halaman di tengah kesibukan berpetualang di perantauan. Benar kata orang tua di kampung, “lebih mapia mangande sia di kampungta dala mangande bale ampo di kampungna tau” yang artinya : lebih baik makan garam di kampung sendiri daripada makan daging tetapi berada di kampung orang. Perkenalkan, nama saya Muhammad Faisal. Saya sudah merantau (baca: menuntut ilmu) di kampung orang selama ± 4 tahun. Saya lahir di Talippuki, sebuah desa kecil yang dikenal dengan sebutan lisuang ada’, yang berada di Kecamatan Mambi; artinya, saya adalah salah satu putera Pitu Ulunna Salu (PUS). Saya lahir pada tanggal 7 Oktober 1998 (Umur: 17 tahun lebih) ; sengaja saya tuliskan umur sehingga apabila terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam tulisan ini, mohon pembaca dapat memaklumi karena saya hanyalah bocah kecil yang masih belajar menulis dan menelaah keadaan.

            Sedikit berbicara tentang sejarah, Pitu Ulunna Salu (PUS) memiliki arti “Tujuh Kerajaan di Hulu Sungai”; yang terdiri dari Kerajaan Tabulahan, Bambang, Mambi, Arale, Rantebulahan, Matangnga, dan Tabang. Semua kerajaan-kerajaan ini saling menghormati dan saling membantu layaknya satu negara kesatuan. Makanya, beberapa sumber menyatakan bahwa kerajaan di PUS tidak seperti kerajaan lain yang memerintah dan berdaulat di daerah sendiri, melainkan satu kesatuan wilayah yang saling menghormati. Kerajaan-kerajaan inilah yang kemudian menjadi nama kecamatan di kabupaten Mamasa dan mendiami hampir sebagian besar wilayah kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. 

            Beberapa waktu yang lalu, saya pulang kampung. Terbesit di pikiran saya, “Pasti kerenmi sekarang kampung. Pasti bagusmi jalan, pasti adami penerang, pasti berkurangmi orang miskin, pasti bagusmi sekolah-sekolah, pasti ……….”. Oh ya, perlu diberitahukan kepada pembaca sekalian, Bupati Mamasa dan Gubernur Sulawesi Barat saat ini adalah putera asli Pitu Ulunna Salu; serta sebagian besar pejabat di tingkat kabupaten dan provinsi adalah orang Pitu Ulunna Salu. Sehingga, tidak salah jika saya berpikir seperti di atas pada waktu itu. Tetapi, sesampainya saya di daerah, saya mendapati kebalikan dari pikiran saya selama ini.

            Jalanan rusak parah, masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Motor harus diangkat, kecuali mereka yang sehebat Rossi. Mobil-mobil berjejeran dikarenakan sebagian mobil tenggelam di jalanan yang penuh lumpur; sehingga mobil yang lain harus menunggu waktu untuk tenggelam. Mirisnya, jalanan ini adalah jalan penghubung pusat kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dengan sebagian besar wilayah Pitu Ulunna Salu, termasuk kampung halaman sang Putera PUS yang diberikan amanah untuk menjadi kepala daerah. Sulit dipercaya, selama 4 tahun berpetualang di perantauan, keadaan jalanan belum juga berubah. Ini seperti kanker yang sulit diobati. Yang paling menjengkelkan; pada saat saya pergi ke perantauan 4 tahun yang lalu, saya melihat orang dengan topi ala teknokrat berlogokan baling-baling berlatar kuning sedang menggunakan Total Station (alat survei dan pemetaan jalan); dan pada saat saya pulang kampung beberapa waktu yang lalu, mereka masih melakukan hal yang sama. Bayangkan, cuma untuk mengukur jalanan sejauh beberapa ratus kilometer saja, waktu selama 4 tahun (4 x 365 =1460 hari) masih belum cukup. Pertanyaannya sekarang, “Apakah mereka (baca; pemerintah, pejabat terkait, pekerja) memang serius memperbaiki jalan atau hanya sekedar melepas kewajiban setiap hari saja sembari menunggu datangnya musim kemarau?.”. Dimanakah engkau para putera PUS sehingga tidak melihat keadaan hari ini?

            Belum cukup sampai di situ, penerangan di daerah (baca ; Pitu Ulunna Salu) belum merata dengan baik. Masih banyak daerah yang belum mendapatkan fasilitas penerangan. Kalau berkunjung di beberapa daerah di Pitu Ulunna Salu, siap-siap saja gelap-gelapan di malam hari. Jaringan komunikasi belum merata dengan baik; sehingga jika ingin berkunjung ke beberapa wilayah di Pitu Ulunna Salu, jangan terlalu berharap bisa mengakses internet, mendengar dering panggilan masuk, sms-an, dan buka sosial media. Akibatnya, banyak masyarakat yang buta internet, buta teknologi, dan buta modernisasi. Masjid, yang katanya rumah ibadah, bagaikan tempat yang tidak terurus. Menurut beberapa informasi, sudah banyak proposal yang dimasukkan atas nama masjid, namun hanya ada beberapa yang betul-betul digunakan untuk pembangunan masjid. Itupun melalui berbagai macam potongan yang diselipkan ke kantong-kantong. Dimanakah engkau para putera PUS sehingga tidak melihat keadaan hari ini?

            Bagaimana dengan dunia pendidikan?. Pendidikan belum merata dengan baik. Masih banyak anak yang sudah cukup umur, namun mereka tidak bersekolah. Ada juga yang bersekolah, tetapi kerjanya hanya datang bermain saja. Mirisnya, masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Saya katakan kekurangan guru karena ketika saya berdiskusi dengan masyarakat dan mendatangi beberapa sekolah di masa aktif sekolah, hanya satu sampai tiga orang guru yang hadir dan kebanyakan adalah guru lama yang sudah lanjut usia. Ada guru yang dalam satu waktu harus merangkap mengajar di beberapa kelas. Miris memang. Masih banyak anak yang berpakaian ala kadarnya, tidak bersepatu, bahkan tidak berseragam; Lalu kemanakah dana pendidikan yang katanya 20% itu? Kemanakah dana bantuan untuk siswa yang tidak mampu? Dimanakah engkau para putera PUS sehingga tidak melihat keadaan hari ini?

            Ah, masih banyak hal yang ingin saya ceritakan terkait keadaan daerah (baca ; Pitu Ulunna Salu) pada saat saya pulang kampung beberapa waktu yang lalu. Tetapi, mungkin pembaca bosan membaca tulisan yang cukup panjang ini. Ada baiknya, pembaca sendiri-lah, terkhusus perantau dari PUS, yang berkunjung sendiri sekaligus pulang kampung dan melihat keadaan daerah hari ini. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap keadaan hari ini?. Jawabannya kita semua, ; masyarakat, perantau, dan terkhusus para Tuan-tuan pejabat yang berada di singgasana hari ini. Tidak terketukkah hati engkau duduk di atas sana, sementara masyarakatmu harus berjuang hidup di luar sana.

            Pesan saya kepada masyarakat, ; “Berteriaklah untuk kampung halaman. Teruslah berbakti untuk daerah tercinta, untuk Pitu Ulunna Salu, untuk kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Jangan mau disogok ataupun menyongok; dan cepatlah tumbangkan kezaliman di PUS tercinta.”. Untuk para perantau, terkhusus para penuntut ilmu, ; “Sekali-kali pikirkanlah keadaan daerah kita. Jangan hanya sibuk dengan organisasi dan/atau kerukunan  yang menggandeng nama daerah; lalu berkegiatan di daerah orang. Tanyakan, apa yang sudah kita berikan untuk kampung halaman.”. Ini juga menjadi sindiran bagi diri saya yang terlalu sibuk kuliah, lomba, dan organisasi, sehingga sering lupa daerah sendiri.” Dan kepada para pejabat, terkhusus dua orang putra PUS terhormat yang hari ini duduk di jabatan tertinggi di Mamasa dan Sulawesi Barat, “Ingatlah kampung halamanmu. Kami tidak meminta uang dan jabatan, hanya meminta dedikasimu untuk daerah ini. Ingatlah, Dehata Buntu akan menjadi saksi kerjamu.”.

           Pembaca sekalian; ingat, bagaimanapun keadaan kampung halaman; jangan pernah lupa untuk mencintainya. Kita lahir di Pitu Ulunna Salu dan sudah sepantasnya kita mencintai dan berbakti untuknya. Jangan pernah pesimis dengan keadaan, teruslah optimis. Jika anda merasa pesimis, ya tunggulah saya menjadi presiden; membangun kampung halaman. Hahaha.  Ingat ajaran orang tua di kampung ; “Tau ditula tokasalle mua’ mangkalehai kampunna”, artinya ; “Orang dikatakan besar/hebat, jika ia mengingat (baca ; berbakti) kampung halamannya.”. Dan terakhir; mari kita jawab pertanyaan ini, cukup di dalam hati kecil saja, :

DIMANAKAH ENGKAU PARA PUTERA PITU ULUNNA SALU HARI INI?” 
#Muhammad Faisal
#The Avenger - PUS 

Kamis, 26 Mei 2016

MEMBANGUN INDONESIA KOKOH


Tidak ada alasan untuk menyerah di negeri ini. Kalimat tersebut seakan menjadi api semangat di dalam keheningan melihat realita negeri tercinta hari ini. Kalimat tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan ingin menampik kegalauan banyak orang yang seakan menyesal hidup di negeri ini. Sangat miris memang melihat kenyataan hari ini, tetapi itu haruslah menjadi batu loncatan kita untuk berkarya dan membenahi Indonesia di masa yang akan datang. Kita sebagai pemuda yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Mengutip pernyataan Ricky Elson, pekerjaan rumah kita adalah berpacu membenahi ketertinggalan dan berpacu menuju kemajuan.

Oh ya, tulisan ini adalah pengalaman tanggal 25 Mei 2016 yang saya refleksikan hari ini. Saya mengikuti sebuah seminar bertemakan “Membangun Indonesia Kokoh” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sipil, Universitas Hasanuddin di Aula Prof. Amiruddin. Salah satu pembicara pada seminar tersebut adalah kanda Ricky Elson, seorang putera bangsa yang mengabdi dan berkarya untuk Indonesia walaupun mendapat banyak halangan dan rintangan. Beliau adalah pendiri Lentera Angin Nusantara (LAN) dan pencipta mobil listrik nasional. Melihat kegelapan di negeri ini, beliau kemudian memutuskan pergi dan mencari cahaya di tempat lain (baca: menuntut ilmu). Setelah mendapatkan cahaya tersebut, beliau kembali untuk menerangi Indonesia tercinta. Beliau tidak mendapatkan kepercayaan dan sempat dicacimaki, namun baginya tidak ada alasan untuk menyerah di negeri ini. 

Saya sempat mencatat, ada beberapa fase yang harus dilewati jika kita bermimpi membangun bangsa agar mimpi tersebut dapat terealisasi dengan baik. Fase pertama, aktivasi diri yaitu fase mencari ilmu pengetahuan dan motivasi diri. Fase kedua, kesadaran yaitu fase memahami makna diri, mengubah diri, dan mulai mencoba belajar dari pengalaman baik pengalaman diri sendiri maupun pegalaman orang lain. Fase ketiga, trigger yaitu fase meyakinkan diri dengan melihat kenyataan di negeri ini. Tidak perlu saya panjang lebar menceritakan kenyataan di negeri ini, silahkan buka sendiri Boss Google. Fase keempat, melangkah yaitu fase memulai membangun keyakinan dan berkarya mulai dari hal yang kecil. Fase kelima, totalitas yaitu fase kesungguhan hati. Fase terakhir, pengorbanan yaitu fase kita berkarya bukan hanya untuk kebanggaan diri sendiri tetapi untuk negeri tercinta dan kemaslahatan dunia.  

Saya sangat tersentuh dan terharu mendengar cerita dari Ricky Elson. Ya, terdengar lebay mungkin tetapi itulah kenyataannya. Ternyata, masih ada orang yang sepemikiran dengan saya, Alhamdulillah ternyata masih banyak. Bahkan saya malu, beliau sudah melangkah jauh, sementara saya masih merangkai mimpi dan ide. Apa yang sudah kita berikan untuk negeri ini? Kita lebih banyak merepotkan, merusak, dan membebani Indonesia. Lalu kita berteriak “Kesalahan pemerintah! Kesalahan aparat! Kesalahan birokrasi!”. Mengutip kata-kata Ricky Elson : Apakah anda mengira gampang membenahi Indonesia sementara Anda sendiri merepotkan Indonesia.

Ya, sulit memang untuk membangun Indonesia melihat keadaan hari ini. Tetapi, Mr. Honda Souichiro pernah berkata : Hanya orang yang sampai detik terakhir tidak menyerah yang menjadi pemenang sesungguhnya. Kurangi waktu tidur dan waktu makanmu, bangun dan berkaryalah. Asal mau mencoba maka tidak ada yang tidak mungkin. Mari belajar kepada Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, BJ Habibie, Ricky Elson, dan orang-orang hebat lainnya untuk kemajuan Indonesia.

Mengutip sebuah kalimat dalam lagu karangan Ibu Soed berjudul Tanah Airku : “Tanah airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku. Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai, engkau kuhargai  Mari membangun Indonesia yang kokoh. Mari memanfaatkan karya untuk kemajuan Indonesia. Membangun negeri ini bukan untuk dipuja, tetapi untuk mengabdi. Terakhir, bagi yang masih berpikir menyerah melihat keadaan, Sutan Syahrir pernah berkata : 

"ANDA BERUNTUNG LAHIR DI NEGERI INDONESIA. PERJUANGKANLAH INDONESIA DAN LIHATLAH CAHAYANYA MENYINARI DUNIA.".

#Muhammad Faisal
#The Avenger - Indonesia
#Panjang Umur Indonesia

Kamis, 21 April 2016

MEMAAFKAN TUHAN

Dalam perjalanan hidup, saya yakin kita semua pernah kecewa. Kita merasakan ketidakadilan, kehilangan, kegagalan, dan frustasi yang luar biasa. Seorang penyair pernah berkata, : "Seseorang dikatakan manusia jika dia pernah merasakan kegagalan". Kemudian, kita marah kepada Tuhan. Ada pula yang menyalahkan Tuhan, mencurigai Tuhan, ataupun hanya sekedar mengeluh. Tapi yang jelas, kita bertanya dalam hati, : "Mengapa Dia biarkan semua ini terjadi? Mengapa saya diperlakukan tidak adil? Mengapa saya harus kehilangan orang yang saya cintai? Mengapa kerja keras saya selalu berujung dengan kegagalan?.". 

Menyalahkan Tuhan mungkin adalah suatu kesalahan. Mungkin? Ya. Karena kita tidak tahu apakah Dia berada di balik kejadian yang mengecewakan itu. Kalau benar, maka adalah manusiawi kalau kita marah kepada Tuhan. Sebagian besar orang mungkin tidak bisa menerima hal ini. Kita tidak bisa memarahi Tuhan sekalipun Dia berada di balik kejadian-kejadian yang menghancurkan hati kita.

Orang-orang di sekitar selalu mengatakan, : "Tuhan tidak pernah dan tidak akan pernah salah". Dia memiliki rencana yang indah dibalik peristiwa-peristiwa yang membawa duka. Kitalah yang harus belajar memahami rencana Tuhan dalam hidup kita. Saya setuju sekali dengan pernyataan ini. Tapi tidak ada gunanya juga berpura-pura "menerima" Tuhan, namun sebenarnya hati kita memberontak. Toh, Dia tahu yang paling dalam dari lubuk hati kita. Menahan kemarahan pada Tuhan dengan mengalihkannya pada diri sendiri hanya akan menambah satu kebohongan dalam diri kita.

Hampir semua orang percaya bahwa Tuhan itu hidup dan tidak akan pernah mati serta bekerja di tengah kehidupan manusia. Kemarahan kepada-Nya merupakan suatu bukti bahwa kita benar-benar konsisten dengan keyakinan itu. Kita tidak akan marah pada teman kita bila kita terjebak kemacetan di jalan. Kita tidak akan marah pada orang asing yang lewat di depan rumah kita bila di rumah kita tidak ada makanan. Kita tidak akan marah pada tetangga kita bila tukang yang seharusnya membereskan atap rumah kita ternyata belum juga menyelesaikan pekerjaannya. Kesemuanya, kita tidak marah karena kita tahu ketidakberesan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.

Sebaliknya, kita marah pada pemerintah daerah yang tidak bekerja maksimal dalam menata daerah. Kita marah pada anggota yang telah melalaikan tugas-tugasnya. Kita marah pada tukang yang tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Ini paling tidak menunjukkan tiga hal. Pertama, kita yakin mereka orang yang bertanggungjawab akan hal itu. Kedua, kita tahu mereka mampu melakukannya. Dan ketiga, kita menaruh harapan pada mereka. 

Kemarahan kita pada Tuhan juga merupakan bentuk dari keyakinan kita bahwa Dia bertanggungjawab, Dia mampu dan Dia baik serta penyayang. Dia ada dan bekerja di tengah kehidupan kita. Bukankah itu keyakinan yang benar?. Kalau begitu, mengapa Dia yang maha segalanya itu mengecewakan kita?. Wah, saya kurang tahu hal tersebut. Silahkan bertanya pada Tuhan. 

Tapi, saya mau anjurkan sesuatu pada kita semua. Mari kita memaafkan Tuhan karena mungkin Dia mengecewakan kita, sebagaimana Tuhan mengampuni kita karena kita mengecewakan-Nya. Mari kita memaafkan Tuhan karena mungkin Dia tidak melakukan apa yang kita minta Dia lakukan, sebagaimana Tuhan juga mengampuni kita karena kita tidak melakukan apa yang Dia minta kita lakukan. Satu hal yang harus kita ingat :   

"DIA ADALAH PEMILIK JIWA KITA, SEDANGKAN KITA HANYALAH CIPTAAN-NYA" 

#Muhammad Faisal
#The Avenger
Indonesia lebih baik dan bermartabat. Kunjungi - http://presidenfaisal.blogspot.co.id/
Join Our Newsletter